PERTEMPURAN paling heroik dan dahsyat yang dialami umat Islam di era
awal perkembangan Islam adalah saat mereka yang hanya berkekuatan 3000
orang melawan pasukan terkuat di muka bumi saat itu, pasukan romawi
dengan kaisarnya Heraclius yang membawa pasukan sebanyak 200.000 orang.
Pasukan super besar tersebut merupakan pasukan aliansi antara kaum
Nashara Romawi dan Nashara Arab sekitar dataran Syam, jajahan Romawi.
Perang terjadi di daerah Mu’tah –sehingga sejarawan menyebutnya perang
Mu’tah (sekitar Yordania sekarang), pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 8
H atau tahun 629 M.
LATAR BELAKANG PEPERANGAN
Penyebab perang Mu’tah ini bermula ketika Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirim utusan bernama al-Harits bin Umair
al-‘Azdi yang akan dikirim ke penguasa Bashra (Romawi Timur) bernama
Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yg baru diangkat oleh Kekaisaran
Romawi. Di tengah perjalanan, utusan itu dicegat dan ditangkap penguasa
setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani, pemimpin dari bani
Gasshaniyah (daerah jajahan romawi) dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi
Heraclius. Setelah itu kepalanya dipenggal.
Dan pada tahun yg sama, 15 orang utusan Rasulullah
dibunuh di Dhat al Talh daerah disekitar negeri Syam (Irak). Sebelumnya,
tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
dibunuh dalam misinya.
Pelecehan dan pembunuhan utusan negara termasuk
menyalahi aturan politik dunia. Membunuh utusan sama saja ajakan untuk
berperang. Hal inilah yang membuat Rasulullah marah.
Mendengar utusan damainya dibunuh, Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat sedih. Setelah sebelumnya berunding
dengan para Shahabat, lalu diutuslah pasukan muslimin sebanyak 3000
orang untuk berangkat ke daerah Syam, sebuah pasukan terbesar yang
dimiliki kaum muslim setelah perang Ahzab. Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam sadar melawan penguasa Bushra berarti juga melawan
pasukan Romawi yang notabene adalah pasukan terbesar dan adidaya di muka
bumi ketika itu. Namun ini harus dilakukan karena bisa saja suatu saat
pasukan lawan akan menyerang Madinah. Kelak pertempuran ini adalah awal
dari pertempuran Arab – Byzantium.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata:
Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.“Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bila ia gugur komando dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib, bila gugur pula panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah –saat itu beliau meneteskan air mata- selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’ dan akhirnya Allah Subhânahu wata‘âlâ memberikan kemenangan. (HR. al-Bukhari)
Ketika pasukan ini berangkat Khalid bin al-Walid
secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan
kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai
orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada
komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam juga turut mengantarkan mereka sampai ke Tsaniatul
Wada’, diluar kota Madinah dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan
membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan
menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon. Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam mendoakan dan kaum Muslimin juga turut
mendoakan dengan berkata:
Allah menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.
Komandan pasukan itu semula merencanakan hendak
menyergap pasukan Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan
dalam ekspedisi-ekspedisi yang sebelumnya. Dengan demikian kemenangan
akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka
berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui
apa yang akan mereka hadapi di sana.
JALANNYA PEPERANGAN
Kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Musuh pun mendengar
keberangkatan mereka. Dipersiapkanlah pasukan super besar guna
menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Kaisar Heraclius mengerahkan lebih
dari 100.000 tentara Romawi sedangkan Syurahbil bin ‘Amr mengerahkan
100.000 tentara yang terdiri dari kabilah Lakham, Juzdan, Qain dan
Bahra‘. Kedua pasukan itupun bergabung. Berdasarkan informasi, pasukan
tersebut dipimpin oleh Theodore, saudara Heraklius.
Mendengar kekuatan musuh yang begitu besar, kaum
Muslimin berhenti selama dua malam di daerah bernama Ma’an wilayah Syam
guna merundingkan apa langkah yang akan diambil. Beberapa orang
berpendapat,
“Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.”
Tetapi Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:
“Demi Allah Subhânahu wata‘âlâ, sesungguhnya apa yang kalian tidak sukai ini adalah sesuatu yang kalian keluar mencarinya, yaitu syahid (gugur di medan perang). Kita tidak berperang karena jumlah pasukan atau besarnya kekuatan. Kita berjuang semata-mata untuk agama ini yang Allah Subhânahu wata‘âlâ telah memuliakan kita dengannya. Majulah! Hanya ada salah satu dari dua kebaikan; menang atau gugur (syahid) di medan perang.” Lalu mereka mengatakan, “ Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan
bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000
yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan
dahsyat yang belum ada taranya pada masa sebelum itu.
Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi
menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan
tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat
banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara
musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan
semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya
sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding
sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
“Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)
Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang
berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka.
Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka,
maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.
KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA ZAID BIN HARITSAH
Sesuai perintah Rasulullah, pasukan Islam dipimpin
Zaid bin Haritsah dengan bendera di tangannya. 3.000 pasukan Islam
melawan 200.000 tentara Romawi jelas tak seimbang. Zaid bertempur dengan
gagah berani. Sampai kemudian sebuah tombak Romawi menancap di
tubuhnya. Darah segar assaabiquunal awwalun tumpah di bumi Mu’tah.
Andaikan memiliki air mata, tanah di sana sudah menangis sejak tubuh
mulia itu terjatuh. Zaid tergeletak sudah. Syahid
KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA JA’FAR BIN ABU THALIB
Melihat Zaid jatuh, Ja’far bin Abu Thalib segera
melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya
kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh
selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando
Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda
pimpinan kini beralih kepadanya
Ja’far bertempur dengan gagah berani sambil memegang
bendera pasukan. Beliau maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil
mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang
mendekat kepadanya sampai akhirnya, pasukan musuh dapat mengepung dan
mengeroyoknya. Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah
musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri
dengan hebat sambil bersenandung:
Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat
Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum … Rum….
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku … menggempurmu ..
Sampai suatu ketika, ada seorang pasukan Romawi yang
menebas tangan kanannya hingga putus. Darah suci pahlawan Islam
tertumpah ke bumi. Lalu bendera dipegang tangan kirinya. Rupanya pasukan
Romawi tidak rela bendera itu tetap berkibar. Tangan kirinya pun
ditebas hingga putus. Kini ia kehilangan dua tangannya. Yang tersisa
hanyalah sedikit lengan bagian atas. Dalam kondisi demikian, semangat
beliau tidak surut, Ja’far tetap berusaha mempertahankan bendera dengan
cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawan. Ada diantara
mereka yang menyerang Ja’far dan membelah tubuhnya menjadi dua.
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar Radhiyallâhu ‘anhu,
salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat
tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau akibat tusukan pedang
dan anak panah.
KEPAHLAWANAN DAN SYAHIDNYA ABDULLAH BIN RAWAHAH
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah menerjang ke
muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli.
Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai
tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, setelah terlihat kehebatan
tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada
dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan
seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari
dirinya, sambil berseru:
“Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan lagaTapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!”(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!”
Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan
tabahnya. Kalau tidaklah taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya
ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan
sejumlah besar dari mereka. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang
memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Alloh, maka naiklah
ia sebagai syahid.
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan
perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan
tercapailah puncak idamannya: “Hingga dikatakan, yaitu bila mereka
meliwati mayatku: Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan benar ia telah terpimpin!” “Benar engkau, ya Ibnu
Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh
Allah…..!”
KABAR SYAHIDNYA PARA KOMANDAN PERANG MU’TAH SAMPAI KE RASULULLAH
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi
Balqa’ di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam sedang duduk
beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba
percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua
matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan
mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan
rasa duka… ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya
dengan pandangan haru, beliau berkata:
“Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula.”. Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula”.
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata
beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan,
lalu katanya pula : “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …”
Para sahabat di sisi Rasulullah juga tidak
henti-hentinya meneteskan air mata. Tangis duka. Tangis kehilangan.
Kehilangan sahabat-sahabat terbaik. Kehilangan pahlawan-pahlawan
pemberani. Namun bersamaan dengan tangis itu juga ada kabar gembira bagi
mereka. Bahwa ketiga orang itu kini disambut para malaikat dengan penuh
hormat, dijemput para bidadari, dan mendapati janji surga serta ridha
Ilahi. Secara khusus kepada Ja’far bin Abu Thalib yang terbelah
tubuhnya, ia dijuluki dengan Ath-Thayyar (penerbang) atau Dzul-Janahain
(orang yang memiliki dua sayap) sebab Allah menganugerahinya dua sayap
di surga, dan dengan sayap itu ia bisa terbang di surga sekehendaknya.
BERITA SYAHIDNYA JA’FAR DISAMPAIKAN LANGSUNG OLEH RASULULLAH KEPADA KELUARGA JA’FAR
Rasulullah pun pergi ke rumah Ja’far, didapatinya
Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya.
Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan
baju mereka yang bersih.
Asma’ bercerita,“Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk.”
Rasulullah memberi salam dan menanyakan anak-anak Ja’far dan menyuruh mereka ke hadapan Rasulullah.
Asma’ kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui
Rasulullah SAW. Anak-anak Ja’far berlompatan kegirangan mengetahui
kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah.
Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka
penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.Asma’ bertanya,
“Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?”
Beliau menjawab, “Ya, mereka telah syahid hari ini.”
Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah
anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu.
Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung
sedang bertengger di kepala mereka.
Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya,
“Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya… Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya.”
Kemudian beliau bersabda,
“Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya.”
STRATEGI PERANG KHALID BIN WALID
Tsabit bin Arqam mengambil bendera komando yang telah
tak bertuan itu dan berteriak memanggil para shahabat Nabi agar
menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka
jatuh pada Khalid bin Walid
Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu sangat sadar,
tidaklah mungkin menandingi pasukan sebesar pasukan Romawi tanpa siasat
yang jitu. Ia lalu mengatur strategi, ditebarkan rasa takut ke diri
musuh dengan selalu mengganti formasi pasukan setiap hari. Pasukan di
barisan depan ditukar dibelakang, dan yang dibelakang berada didepan.
Pasukan sayap kanan berganti posisi ke kiri begitupun sebaliknya.
Tujuannya adalah agar pasukan romawi mengira pasukan muslimin mendapat
bantuan tambahan pasukan baru.
Selain itu, khalid bin Walid mengulur-ulur waktu
peperangan sampai sore hari karena menurut aturan peperangan pada waktu
itu, peperangan tidak boleh dilakukan pada malam hari. Khalid
memerintahkan beberapa kelompok prajurit kaum muslimin pada pagi harinya
agar berjalan dari arah kejauhan menuju medan perang dengan menarik
pelepah-pelepah pohon sehingga dari kejauhan terlihat seperti pasukan
bantuan yang datang dengan membuat debu-debu berterbangan.
Pasukan musuh yang menyaksikan peristiwa tersebut
mengira bahwa pasukan muslim benar-benar mendapatkan bala bantuan.
Mereka berpikir, bahwa kemarin dengan 3000 orang pasukan saja merasa
kewalahan, apalagi jika datang pasukan bantuan. Karena itu, pasukan
musuh merasa takut dan akhirnya mengundurkan diri dari medan
pertempuran.
Pasukan Islam lalu kembali ke Madinah, mereka tidak
mengejar pasukan Romawi yang lari, karena dengan mundurnya pasukan
Romawi berarti Islam sudah menang.
HASIL PEPERANGAN
Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa
pertempuran ini berakhir imbang. Hal karena kedua belah pasukan
sama-sama menarik mundur pasukannya yang lebih dahulu dilakukan oleh
Romawi. Sedangkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam pertempuran ini
kemenangan berada di tangan pasukan Muslimin.
Imam Ibnu katsir mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata,
“Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin, padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak.”
Sebenarnya tanpa ada justifikasi kemenanganpun akan
diketahui ada dipihak siapa. Keberanian pasukan yang hanya berjumlah
3.000 dengan gagah berani menghadapi dan dapat mengimbangi pasukan yang
sangat besar dan bersenjata lebih canggih dan lengkap cukup menjadi
bukti. Bahkan jika menghitung jumlah korban dalam perang itu siapapun
akan langsung mengatakan bahwa umat islam menang. Mengingat korban dari
pihak muslim hanya 12 orang (al-Bidayah wan Nihayah (4/214)). Menurut
riwayat Ibnu Ishaq 8 orang, sedang dalam kitab as-Sîrah ash-Shahîhah
(hal.468) 13 orang) sedangkan pasukan Romawi tercatat sekitar 20.000
orang.
Menurut Imam Ibnu Ishaq – imam dalam ilmu sejarah
Islam –, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 sahabat saja. Secara
terperinci, yaitu (1) Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (2) Zaid bin Haritsah Al-Kalbi,
(3) Mas’ud bin Al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah Al-Adawi, (4) Wahb bin
Sa’d bin Abi Sarh. Sementara dari kalangan kaum Anshar, (5) Abdullah bin
Rawahah, (6) Abbad bin Qais Al-Khazarjayyan, (7) Al-Harits bin
an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, dan (8) Suraqah bin Amr bin
Athiyyah bin Khansa Al-mazini.
Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam dengan berlandaskan keterangan Az-Zuhri, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, (9) Abu Kulaib dan (10)
Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah Amr bin Amir putra Sa’d
bin Al-Harits bin Abbad bin Sa’d bin Amir bin Tsa’labah bin Malik bin
Afsha. Mereka juga berasal dari kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada
bertambah menjadi 12 jiwa.
Perang ini adalah perang yang sangat sengit meski
jumlah korban hanya sedikit dari pihak muslim. Di dalam peperangan ini
Khalid Radhiyallâhu ‘anhu telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat
mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia
berkata:
“Dalam perang Mu‘tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” (HR. Al-Bukhari 4265-4266)
Ibnu Hajar mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 249)
IBRAH YANG KITA BISA AMBIL DARI PERANG MU’TAH
Kita merasa berat padahal kita tidak pernah berjihad.
Kita mengeluh sering pulang malam dan kecapekan karena kita tidak
pernah membayangkan mobilitas para sahabat seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu
Rawahah yang menempuh perjalanan beberapa pekan, lalu berperang
beberapa pekan pula. Kita mengeluhkan hari libur yang tersita sehingga
jarang berekreasi bersama keluarga karena kita tak pernah menempatkan
diri seperti Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah yang setiap kali berangkat
jihad mereka meninggalkan wasiat pada istri dan keluarganya. Kita
mengeluh korban tenaga, kehujanan, sampai terkena flu bahkan masuk rumah
sakit. Karena kita tak pernah membayangkan jika kita yang menjadi para
sahabat. Bukan flu yang menyerang tetapi anak-anak panah yang menancap
di badan. Bukan panas dan meriang yang datang tetapi tombak yang
menghujam. Bukan batuk karena kelelahan tapi sayatan pedang yang
membentuk luka dan menumpahkan darah.
Kita mengeluh dengan pengeluaran sebagian kecil uang
kita karena kita tidak membayangkan betapa besarnya biaya jihad para
sahabat. Mulai dari membeli unta atau kuda, baju besi sampai senjata.
Kita mengeluhkan masyarakat kita yang tidak juga menyambut dakwah
sementara Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah bahkan tak pernah mengeluh
meskipun berhadapan dengan 100.000 pasukan musuh. Kita merasa berat dan
seringkali mengeluh karena kita tak memahami bahwa perjuangan Islam
resikonya adalah kematian. Maka yang kita alami bukan apa-apa
dibandingkan tombak yang menghujam tubuh Zaid bin Haritsah. Yang kita
keluhkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sabetan pedang yang
memutuskan dua tangan Ja’far bin Abu Thalib dan membelah tubuhnya. Yang
kita rasa berat tidak seberapa dibandingkan luka-luka di tubuh Ibnu
Rawahah yang membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap Rasulullah menangis
karena kematian kita? Pantaskah kita berharap malaikat datang menyambut
kita? Atau bidadari menjemput kita? Kemudian pintu surga dibukakan untuk
kita?
Ya Allah, jika kami memang belum pantas untuk itu
semua, jangan biarkan kami mengeluh di jalan dakwah ini. Ya Allah,
anugerahkanlah hidayah-Mu kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan hati
kami condong pada kesesatan sesudah Engkau memberi hidayah pada kami.
Amin.
0 comments:
Post a Comment